Tebuireng adalah nama sebuah pedukuhan
yang termasuk wilayah administratif Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten
Jombang, berada pada kilometer 8 dari kota Jombang ke arah selatan. Nama
pedukuhan seluas 25,311 hektar ini kemudian dijadikan nama pesantren yang
didirikan oleh Kiai Hasyim.
Menurut penuturan masyarakat sekitar,
nama Tebuireng berasal dari kata ”kebo ireng” (kerbau hitam).
Konon, ada seorang penduduk yang memiliki kerbau berkulit kuning. Suatu hari,
kerbau tersebut menghilang dan setelah dicari kian kemari, kerbau itu ditemukan
dalam keadaan hampir mati karena terperosok di rawa-rawa yang banyak dihuni
lintah. Sekujur tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang semula
berwarna kuning kini berubah menjadi hitam. Peristiwa ini menyebabkan pemilik
kerbau berteriak ”kebo ireng …! kebo ireng …!” Sejak sat itu,
dusun tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama Kebo Ireng.[1]
Pada perkembangan selanjutnya, ketika
penduduk dusun tersebut mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah
menjadi Tebuireng. Tidak diketahui dengan pasti kapan perubahan itu
terjadi dan apakah hal itu ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di
selatan dusun tersebut, yang banyak mendorong masyarakat untuk menanam tebu?
Karena ada kemungkinan, karena tebu yang ditanam berwarna hitam maka dusun
tersebut berubah nama menjadi Tebuireng.
Berdirinya Pesantren Tebuireng
Pada penghujung abad ke-19, di sekitar
Tebuireng bermunculan pabrik-pabrik milik orang asing (terutama pabrik gula).
Bila dilihat dari aspek ekonomi, keberadaan pabrik-pabrik tersebut memang
menguntungkan karena akan membuka banyak lapangan kerja. Akan tetapi secara
psikologis justru merugikan, karena masyarakat belum siap menghadapi
industrialisasi. Mereka belum terbiasa menerima upah sebagai buruh pabrik. Upah
yang mereka terima biasanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat
konsumtif-hedonis. Budaya judi dan minum minuman keras pun menjadi tradisi.
Ketergantungan rakyat terhadap pabrik
kemudian berlanjut pada penjualan tanah-tanah rakyat yang memungkinkan
hilangnya hak milik atas tanah. Diperparah lagi oleh gaya hidup masyarakat yang
amat jauh dari nilai-nilai agama.
Kondisi ini menyebabkan keprihatinan
mendalam pada diri Kiai Hasyim. Beliau kemudian membeli sebidang tanah milik
seorang dalang terkenal di dusun Tebuireng. Lalu pada tanggal 26 Rabiul Awal
1317 H (bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1899 M.), Kiai Hasyim mendirikan
sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu (Jawa: tratak),
berukuran 6 X 8 meter.[2]
Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian. Bagian belakang dijadikan
tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya, Nyai Khodijah, dan bagian depan
dijadikan tempat salat (mushalla). Saat itu santrinya berjumlah 8 orang,[3] dan tiga bulan
kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Kehadiran Kiai Hasyim di Tebuireng
tidak langsung diterima dengan baik oleh masyarakat. Gangguan, fitnah, hingga
ancaman datang bertubi-tubi. Tidak hanya Kiai Hasyim yang diganggu, para
santripun sering diteror. Teror itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak
menyukai kehadiran pesantren di Tebuireng. Bentuknya beraneka ragam. Ada yang
berupa pelemparan batu, kayu, atau penusukan senjata tajam ke dinding tratak.
Para santri seringkali harus tidur
bergerombol di tengah-tengah ruangan,
karena takut tertusuk benda tajam. Gangguan juga dilakukan di luar pondok,
dengan mengancam para santri agar meninggalkan pengaruh Kiai Hasyim.
Gangguan-gangguan tersebut berlangsung selama dua setengah tahun, sehingga para
santri disiagakan untuk berjaga secara bergiliran.
Ketika gangguan semakin membahayakan
dan menghalangi sejumlah aktifitas santri, Kiai Hasyim lalu mengutus seorang
santri untuk pergi ke Cirebon, Jawa Barat, guna menamui Kiai Saleh Benda, Kiai
Abdullah Panguragan, Kiai samsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet.
Keempatnya merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. Mereka sengaja didatangkan ke
Tebuireng untuk melatih pencak silat dan kanuragan selama kurang lebih 8 bulan.
Dengan bekal kanuragan dan ilmu pencak
silat ini, para santri tidak khawatir lagi terhadap gangguan dari luar. Bahkan
Kiai Hasyim sering mengadakan ronda malam seorang diri. Kawanan penjahat sering
beradu fisik dengannya, namun dapat diatasi dengan mudah. Bahkan banyak
diantara mereka yang kemudian meminta diajari ilmu pencak silat dan bersedia
menjadi pengikut Kiai Hasyim. Sejak saat itu Kiai Hasyim mulai diakui sebagai
bapak, guru, sekaligus pemimpin masyarakat.
Selain dikenal memiliki ilmu pencak
silat, Kiai Hasyim juga dikenal ahli di bidang pertanian, pertanahan, dan
produktif dalam menulis. Karena itu, Kiai Hasyim menjadi figur yang amat
dibutuhkan masyarakat sekitar yang rata-rata berprofesi sebagai petani. Ketika
seorang anak majikan Pabrik Gula Tjoekir berkebangsaan Belanda, sakit parah dan
kritis, kemudian dimintakan air do’a kepada Kiai Hasyim, anak tersebut pun
sembuh.
Luasnya pengaruh Kiai Hasyim
Dengan tumbuhnya pengakuan masyarakat,
para santri yang datang berguru kepada Kiai Hasyim bertambah banyak dan datang
dari berbagai daerah baik di Jawa maupun Madura. Bermula dari 28 orang santri
pada tahun 1899, kemudian menjadi 200 orang pada tahun 1910, dan 10 tahun
berikutnya melonjak menjadi 2000-an orang, sebagian di antaranya berasal dari
Malaysia dan Singapura. Pembangunan dan perluasan pondok pun ditingkatkan,
termasuk peningkatan kegiatan pendidikan untuk menguasai kitab kuning.
Kiai Hasyim mendidik santri dengan
sabar dan telaten. Beliau memusatkan perhatiannya pada usaha
mendidik santri sampai sempurna menyeleseaikan pelajarannya, untuk kemudian
mendirikan pesantren di daerahnya masing-masing. Beliau juga ikut aktif
membantu pendirian pesantren-pesantren yang didirikan oleh murid-muridnya,
seperti Pesantren Lasem (Rembang, Jawa Tengah), Darul Ulum (Peterongan,
Jombang), Mambaul Ma’arif (Denanyar, Jombang), Lirboyo (Kediri),
Salafiyah-Syafi’iyah (Asembagus, Situbondo), Nurul Jadid (Paiton Probolinggo),
dan lain sebagainya.
Pada masa pemerintahan Jepang, tepatnya
tahun 1942, Sambu Beppang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun
data jumlah kiai dan ulama di Pulau Jawa. Ketika itu jumlahnya mencapai
25.000an orang, dan mereka rata-rata pernah menjadi santri di Tebuireng. Hal
ini menunjukkan batapa basar pengaruh Pesantren Tebuireng dalam pengembangan
dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad ke-20.
Karena kemasyhurannya, para kiai di
tanah Jawa mempersembahkan gelar ”Hadratusy Syeikh” yang artinya ”Tuan
Guru Besar” kepada Kiai Hasyim. Beliau semakin dianggap keramat, manakala
Kiai Kholil Bangkalan yang dikeramatkan oleh para kiai di seluruh tanah
Jawa-Madura, sebelum wafatnya tahun 1926, telah memberi sinyal bahwa Kiai
Hasyim adalah pewaris kekeramatannya. Diantara sinyal itu ialah ketika Kiai
Kholil secara diam-diam hadir di Tebuireng untuk mendengarkan pengajian kitab
hadis Bukhari-Muslim yang disampaikan Kiai Hasyim. Kehadiran Kiai Kholil dalam
pengajian tersebut dinilai sebagai petunjuk bahwa setelah meninggalnya Kiai
Kholil, para Kiai di Jawa-Madura diisyaratkan untuk berguru kepada Kiai Hasyim.
Bisa dikatakan, Pesantren Tebuireng
pada masa Kiai Hasyim merupakan pusatnya pesantren di tanah Jawa. Dan Kiai
Hasyim merupakan kiainya para kiai. Terbukti, ketika bulan Ramadhan tiba, para
kiai dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura datang ke Tebuireng untuk ikut
berpuasa dan mengaji Kitab Shahih Bukhari-Muslim.
Keberadaan Pesantren Tebuireng akhirnya
berimplikasi pada perubahan sikap dan kebiasaan hidup masyarakat sekitar.
Bahkan dalam perkembangannya, Pesantren Tebuireng tidak saja dianggap sebagai
pusat pendidikan keagamaan, melainkan juga sebagai pusat kegiatan politik
menentang penjajah. Dari pesantren Tebuireng lahir partai-partai besar Islam di
Indonesia, seperti Nahdlatul Ulam (NU), Masyumi (Majelis Syuro A’la Indonesia),
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), serta laskar-laskar perjuangan seperti
Sabilillah, Hizbullah, dsb.
Pada awal berdirinya, materi pelajaran
yang diajarkan di Tebuireng hanya berupa materi keagamaan dengan sistem sorogan[4] dan bandongan..[5] Namun seiring
perkembangan waktu, sistem pengajaran secara bertahap dibenahi, diantaranya
dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi, lalu pengenalan
sistem klasikal (madrasah) tahun 1919, kemudian pendirian Madrasah Nidzamiyah
yang di dalamnya diajarkan materi pengetahuan umum, tahun 1933.
Tebuireng Sekarang
Menapaki akhir abad ke-20, Pesantren
Tebuireng menambah beberapa unit pendidikan, seperti Madrasah Tsanawiyah (MTs),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas
(SMA), hingga Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY, kini IKAHA). Bahkan unit-unit
tersebut kini ditambah lagi dengan Madrasah Diniyah, Madrasah Mu’allimin, dan
Ma’had Aly, disamping unit-unit penunjang lainnya seperti Unit Penerbitan Buku
dan Majalah, Unit Koperasi, Unit Pengolahan Sampah, Poliklinik, Unit Penjamin Mutu,
unit perpustakaan, dan lain sebagainya (akan dijelaskan kemudian). Semua unit
tersebut (selain UNHASY), merupakan ikon dari eksistensi Pesantren Tebuireng
sekarang.
Secara geografis, letak Pesantren
Tebuireng cukup strategis, karena berada di tepi jalan raya Jombang-Malang dan
Jombang-Kediri. Lalu lintas yang melewati Desa Cukir terbagi dalam tiga
jalur. Pertama jalur utara-barat daya yang merupakan lintasan
dari kota Jombang menuju Kediri-Tulungagung-Trenggalek melewati Pare. Kedua adalah
jalur utara-tenggara yang merupakan lintasan dari kota Jombang menuju Malang
melalui kota Batu. Ketiga ialah jalur barat-timur yang
merupakan lintasan dari Desa Cukir menuju Kecamatan Mojowarno. Mencari
kendaraan umum tidak terlalu sulit di desa ini, karena hampir setiap 2-3 menit
sekali, ada mikrolet yang lewat. Pada jalur pertama dan kedua tidak hanya
dilalui mikrolet (sebagaimana jalur ketiga), melainkan juga dilalui bus dan
truk angkutan barang dari Surabaya-Kediri-Tulungagung-Trenggalek lewat Jombang
dan Pare. Kondisi seperti ini sudah tampak sejak awal tahun 1990-an,
sebagaimana hasil penelitian Imron Arifin (1993).
Pada awal tahun 1900-an, penduduk
Tebuireng rata-rata berprofesi sebagai petani dan pedagang. Namun sekarang
keadaannya sudah berbeda. Mayoritas penduduk Tebuireng kini bekerja sebagai
pedagang, pegawai pemerintah dan swasta, dan sebagian lagi berprofesi sebagai
guru. Jarang sekali yang berprofesi sebagai petani.
Penduduknya rata-rata memiliki sepeda
motor. Rumah mereka sudah tergolong bagus, tidak ada lagi yang terbuat dari
anyaman bambu (gedek) seperti pada awal pendirian Pesantren Tebuireng.
Pesawat TV yang dulu hanya dimiliki oleh sebagian pegawai Pabrik Gula Tjoekir,
kini sudah menghiasi setiap rumah penduduk. Banyak diantara mereka sudah
memiliki mobil dan komputer.
Ketika buku ini ditulis, suasana
sehari-hari di Dukuh Tebuireng lebih ramai dibanding dengan kota kecamatannya,
Diwek. Keberadaan Pabrik Gula Tjoekir, Pasar Cukir, Puskesmas dan poliklinik
yang melayani rawat-inap, keberadaan Kantor Pos, bank-bank swasta dan
pemerintah yang dilengkapi ATM, mengudaranya beberapa pemancar radio, serta
banyaknya mini market, toko-toko kelontong, warung-warung dan kedai-kedai yang
berjejer di sepanjang jalan, membuat kawasan ini selalu ramai dengan beragam
aktivitas.
Semaraknya suasana Tebuireng dan
sekitarnya, ditopang oleh keberadaan pesantren-pesantren yang tersebar di
hampir setiap sudut desa. Suasana kahidupan pesantren sangat terasa di kawasan
ini. Setiap hari, orang-orang bersarung, berpeci, dan berjilbab, berlalu-lalang
di sekitar jalan raya. Bila lebaran tiba, kawasan Tebuireng dan sekitarnya
menjadi sepi karena para santri/siswa pulang kampung (mudik). Ini membuktikan
bahwa keberadaan santri/siswa merupakan faktor utama yang membuat semarak
kehidupan di Tebuireng dan sekitarnya.
***
Dari uraian di muka, terlihat jelas
bahwa Pesantren Tebuireng memiliki peran yang sangat signifikan, sejak awal
berdirinya hingga sekarang. Peran itu dimulai dari perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan RI, perjuangan menyebarkan ajaran agama dan
mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan ekonomi masyarakat dan penguatan
civil society. Banyaknya kader-kader terbaik bangsa yang lahir dari lembaga
ini, juga merupakan bukti bahwa Pesantren Tebuireng tidak pernah lelah
berjuang. Peran vital itu semakin dikukuhkan dengan keikutsertaan para pengasuh
dan alumninya dalam percaturan politik nasional.
Dua orang tokohnya, Kiai Hasyim Asy’ari
dan Kiai Wahid Hasyim, bahkan mendapat gelar pahlawan nasional. Keduanya juga
merupakan tokoh pendiri dan penerus perjuangan Nahdlatul Ulama, organisasi
Islam terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Salah seorang keturunan Kiai
Hasyim, yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah menjadi presiden keempat
Republik Indonesia. Karena itu, tidak berlebihan kiranya bila sebagian
masyarakat menyebut Tebuireng sebagai ”Pesantren Perjuangan”.
___________
[1] Versi lain yang menuturkan bahwa
nama Tebuireng berawal dari pemberian nama oleh seorang punggawa kerajaan
Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut.
[2] Tanggal pendirian tratak ini
dicatat sebagai awal berdirinya Pesantren Tebuireng.
[3] Konon, kedelapan orang santri itu
dibawa oleh Kiai Hasyim dari pesantren Keras (asuhan Kiai Asy’ari).
[4] Metode sorogan diterapkan
baik bagi santri pemula maupun bagi santri senior. Untuk santri pemula,
dilakukan dengan cara maju satu persatu dan menyodorkan kitabnya masing-masing.
Lantas gurunya membacakan salah satu kalimat dalam bahasa Arab, kemudian
menerjemahkan dalam bahasa setempat dan menerangkan maksudnya. Santri yang
mengaji diharuskan menyimak kitabnya sambil memberi tanda tertentu pada kalimat
yang baru dibacakan. Metode sorogan untuk pemula ini biasanya
dilaksanakan oleh santri senior pembantu Kiai, yang disebut qori’ atau badal.
Sedang untuk santri senior, metode sorogan lazim diterapkan
untuk pengajian yang bersifat khusus. Caranya, santri yang bersangkutan
menghadap kiai sambil membawa kitab yang akan dibaca. Kiai hanya tinggal
menyimak dan meluruskan bacaan yang salah, serta memberikan komentar bila
diperlukan. Metode ini cukup efektif untuk memacu kemajuan santri dalam hal
penguasaan kitab klasik.